Archive for September, 2011

Mudik itu silaturahim

Kupejamkan mata sesaat. Tapi gak bisa. Kucoba lagi. Tetep gak bisa. Suara tangis anak kecil di sebelah tempat dudukku menambah gaduh suasana yang memang telah gaduh sebelumnya. Ibu sang anak itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meredakan tangisnya. Sesaat tangisnya mereda, namun tak lama kembali meledak. Tapi Alhamdulillah, hingga paragraf ini selesai dibuat, tangis anak itu sudah selesai. Mungkin dia gerah dengan situasi ini.

Kotak besi ini terdiam untuk beberapa belas menit. Lalu kembali bergerak lagi sesaat untuk beberapa meter. Namun kembali terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama. Saking lamanya, si bapak supir itu sampai mematikan mesin kendaraan yang dikemudikannya. Pemandangan yang terhampar puluhan meter ke depan hanya antrean kendaraan roda dua hingga roda enam.

Kuraih kaca jendela di sebelah kananku. Agak keras. Hembusan angin sejuk bercampur hawa panas memasuki ruang sempit ini setelah ku berhasil untuk membukanya. Dalam tayangan di televisi semalam, aku hanya dapat menyaksikan liputannya lewat layar kaca itu. Tapi saat ini aku mengalaminya langsung. Real. Nyata. Sesuai prediksi presenter televisi itu, hari ini diyakini akan menjadi puncak arus balik tahun 2011. Dan aku, keluargaku serta para penumpang lain terjebak di dalamnya. Aihh.

Terdiam. Panas. Gerah. Berisik. Semua kata2 di awal paragraf ini campur aduk menyeruak di benakku. Suara orang memainkan game di gadget canggihnya bercampur ocehan2 gaduh para penumpang menyesaki ruang yang berukuran kira2 2×9 meter ini. Untung tangis bocah tadi sudah mereda. Coba kalau suara falsetonya ikut berkolaborasi di dalam pentas ini, entahlah apa yang akan terjadi.

Kutengok lagi tulisan di sebelah kananku. Masih belum berubah. Tulisan “Selamat Datang SPBU 34-43307 Sekarwangi-Cibadak” masih nampak. Tidak ada perubahan bentuk maupun kata2nya. Di samping kiri masih terhampar pemandangan mahal yang tidak akan ditemui di kota metropolitan. Bukit beserta pegunungan yang mulai “botak” menemani kegaduhan ini.

Kutengok jam di telepon genggamku. Hampir pukul 14.30 sore. Artinya sudah hampir 6 jam berlalu sejak rombongan keluargaku ini meninggalkan kampung halaman untuk kembali beraktivitas di ibu kota. Sudah 6 jam namun belum keluar dari Cibadak!!! Wah parah pisan macetnya. Hareudang. Hareudang. Begitu kalo kata orang sini. Kalo di Jakarta-in artinya gerah. Begitu kira2.

Mungkin inilah yang dinamakan seninya mudik. Pakem “kalo gak macet, ya gak mudik” rupanya masih berlaku di tiap tahunnya. Alhamdulillah, sebelum ashar akhirnya kami berhasil “melepaskan diri” dari ruwetnya benang kusut kemacetan yang belakangan diketahui penyebabnya adalah bertemunya arus kendaraan dari tiga lokasi, yaitu Sukabumi, Cibadak, dan arah dari Pelabuhan Ratu.

Setelah melewati “kemelut” di Cibadak, jalanan relatif lancar. Masuk ke Parung Kuda menuju Cicurug juga lancar. Menjelang ashar, kami sudah memasuki kabupaten Bogor. Hingga sampai di terminal Bekasi jalanan cukup ramlan (ramai lancar). Mega merah yang menghiasi lembayung senja mengantarkan kami menuju rumah dengan selamat sehat wal’afiat. Puji syukur Alhamdulillah.

Sudah tiga tahun berlalu sejak kunjungan terakhirku bersilaturahmi kesini, dan sudah cukup banyak perubahan yang terjadi disana-sini. Dulu di desa Ranca Oray, kecamatan Nyalindung, kabupaten Sukabumi ini hilir mudik kendaraan baik itu roda dua atau empat masih sedikit. Namun sekarang relatif lumayan banyak. Hal itu diakui sendiri oleh salah satu saudaraku disana.

Kunjunganku di tahun ini rupanya bersamaan dengan datangnya musim kemarau. Sawah2 banyak yang kering. Begitu halnya yang terjadi terhadap kebun sayur-mayurnya. Bahkan ada situ/danau yang hampir mengering airnya. Sedih sekali melihatnya, karena mata pencaharian sebagian besar penduduk disini adalah dalam bidang agraris. Ketika siang, udaranya juga lebih panas dibanding sekitaran tiga tahun lalu. Entahlah hal tersebut ada hubungannya dengan global warming effect atau tidak.

Tapi ada yang nggak hilang dari ciri khas daerah pegunungan, yaitu air yang super dingin. Waaaaa. Airnya yang berasal langsung dari puncak gunung serasa menusuk hingga ke tulang saking dinginnya. Bila malam datang, tak ada suara apapun yang terdengar selain nyanyian duet kodok dan jangkrik. Suasana yang sejuk memungkinkan kita untuk menghirup nafas sedalam2nya tanpa takut oksigen akan bercampur dengan timbal dan polusi kendaraan.

Liburan singkat selama tiga hari dua malam ini lumayan efektif meredakan kejenuhan aktivitas di kantor, seperti yang terjadi di Ramadhan yang baru saja berlalu. Selain liburan, apa yang baru saja kulakukan ini juga untuk menyambung tali silaturahmi. Seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al -Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693).

Tapi lihat apa yang terjadi di balik ketidakbersediaan kita untuk mempererat tali silaturahim tanpa ada udzur (halangan) yang jelas. Hal itu bisa kita lihat dalam keterangan Rasulullah SAW yang berikut ini. Dari Jubair bin Muth’im RA. dari Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga pemutus silaturrahim.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Turmuzi). Nah lho serem kaan!!!

Salah satu pertanyaan yang sering muncul ketika menyambung tali silaturahim kemarin adalah, “Bu, anaknya sudah ada calon menantu belum?” :D. Jawabku dalam hati: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama”: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami pasangan dan anak kami sebagai penyejuk mata kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74)

20110904-23.18