Archive for the ‘#Bahasa Indonesia 1’ Category

Daftar Pustaka, Kutipan, dan Catatan Kaki

#Daftar Pustaka

Daftar pustaka (bibliografi) merupakan sebuah daftar yang berisi judul buku-buku, artikel-artikel, dan bahan-bahan penerbitan lainnya, yang mempunyai pertalian dengan sebuah karangan. Melalui daftar pustaka yang disertakan pada akhir tulisan, para pembaca dapat melihat kembali pada sumber aslinya.

Pencantuman sebuah buku dalam daftar pustaka pada sebuah karya tulis ilmiah erat kaitannya dengan pengutipan buku. Buku yang kita kutip informasinya haruslah kita cantumkan dalam daftar pustaka. Kutipan merupakan pinjaman kalimat atau pendapat dari seorang pengarang, atau ucapan orang-orang yang terkenal. Walaupun kutipan atas pendapat seorang itu dibolehkan bukan berarti bahwa sebuah tulisan seluruhnya berupa kutipan-kutipan. Penulis karya tulis ilmiah harus dapat menahan diri untuk tidak terlalu banyak mempergunakan kutipan, agar orisinalitas tulisannya terjaga. Garis besar kerangka karangan, serta kesimpulan-kesimpulan yang dibuat merupakan pendapat penulis sendiri. Kutipan-kutipan hanya berfungsi sebagai bukti untuk menunjang pendapatnya itu.

Dalam menulis daftar pustaka terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya:
1.Daftar pustaka disusun berdasarkan urutan alfabet, berturut-turut dari atas ke bawah, tanpa menggunakan angka arab (1,2,3, dan seterusnya)
2. Cara penulisan daftar pustaka sebagai berikut:
a) Tulis nama pengarang (nama pengarang bagian belakang ditulis terlebih dahulu, baru nama depan)
b) Tulislah tahun terbit buku. Setelah tahun terbit diberi tanda titik (.)
c) Tulislah judul buku (dengan diberi garis bawah atau cetak miring). Setelah judul buku diberi tanda titik (.)
d) Tulislah kota terbit dan nama penerbitnya. Diantara kedua bagian itu diberi tanda titik dua (:). Setelah nama penerbit diberi tanda titik (.)
3. Apabila digunakan dua sumber pustaka atau lebih yang sama pengarangnya, maka sumber ditulis dari buku yang lebih dahulu terbit, baru buku yang terbit kemudian. Diantara kedua sumber pustaka itu dibubuhkan tanda garis panjang.

Perhatikan contoh penulisan daftar pustaka:
a) Baradja, M.F. 1990, Kapita Selecta Pengajaran Bahasa. Malang: Penerbit IKIP Malang.
b) Damono, Sapardi Joko. 1979. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
c) Hamid, Fuad Abdul.1987. Proses Belajar-Mengajar Bahasa.
d) Nikolas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
e) Nurhadi. 1991. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru.
f) Teeuw, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

#Tata Cara & Aturan Penulisan Kutipan

A. Tata Cara & Aturan Penulisan Kutipan langsung tidak lebih dari empat baris
Kutipan ini akan dimasukkan dalam teks dengan cara berikut:
(1) kutipan diintegrasikan dengan teks;
(2) jarak antara baris dengan baris dua spasi;
(3) kutipan diapit dengan tanda kutip;
(4) sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukkan setengah spasi ke atas atau dalam kurung ditempatkan nama pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman tempat terdapat kutipan itu.

Contoh:
Supaya tulisan kita mudah dipahami orang lain, maka kita hendaknya membuat kalimat yang efektif. Yang dimaksud dengan kalimat efektif itu yang bagaimana? “Kalimat efektif adalah kalimat yang dengan sadar atau sengaja disusun untuk mencapai daya informasi yang tepat dan baik” (Parera,1988:42). Dengan demikian…..

B. Tata Cara & Aturan Penulisan Kutipan langsung lebih dari empat baris
Kutipan yang lebih dari empat baris ketentuan penulisannya sebagai berikut:
(1) kutipan dipisahkan dari teks dalam jarak 2,5 spasi;
(2) jarak antara baris dengan baris kutipan satu spasi;
(3) kutipan boleh atau tidak diapit dengan tanda kutip;
(4) sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukan setengah spasi ke atas, atau dalam kurung ditempatkan nama pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman tempat terdapat kutipan itu;
(5) seluruh kutipan dimasukkan ke dalam 5 – 7 ketikan.

Contoh:
……………………………………………………………..
“Anda tidak bisa menang dalam sebuah debat. Anda tidak bisa, karena kalau Anda kalah, Anda akan kalah; dan kalau Anda menang, Anda kalah juga. Mengapa? Nah, misalkan Anda menang atas pihak lawan dan mampu menembak argumennya sehingga penuh lubang, lalu membuktikan bahwa dia noncomposmentis. Lalu bagaimana? Ya, Anda akan merasa senang. Tapi bagaimana dengan dia? Anda telah membuatnya merasa rendah diri” (Carnegie; 1996:181).
………………………………………………………………..

C. Tata Cara & Aturan Penulisan Kutipan tidak langsung
Kutipan tidak langsung berupa intisari pendapat yang dikemukakan. Oleh sebab itu, kutipan ini tidak diberi tanda kutip. Syarat penulisan kutipan tidak langsung adalah:
(1) kutipan diintegrasikan dengan teks;
(2) jarak antarbaris dua spasi;
(3) kutipan tidak diapit tanda kutip;
(4) sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukan setengah spasi ke atas, atau dalam kurung ditempatkan nama pengarang, tahun terbit, nomor halaman tempat terdapat kutipan itu.

Contoh:
Menurut Gorys Keraf, kalimat yang baik adalah yang menunjukkan kesatuan gagasan, atau hanya mengandung satu ide pokok. Bila ada dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan digabungkan, maka akan merusak kesatuan pikiran (1994 :36).

#Catatan kaki

Catatan kaki atau footnotes sering terdapat dalam karangan‐karangan ilmiah sebagai pertanggungjawaban penulisnya kalau mengutip pendapat orang lain dalam buku atau dalam tulisan yang dimuat dalam majalah atau surat kabar, atau menunjukkan sumber lain, misalnya berdasarkan wawancara, percakapan, dan lain‐lain.

Cara menunjukkan catatan itu dahulu biasa dengan memberi tanda pada tempat yang bersangkutan dengan angka Arab atau tanda lain. Kemudian, keterangan tentang hal yang diberi tanda itu ditaruh pada kaki halaman dengan memberi tanda yang sama. Kalau dengan angka, setiap angka pada catatan kaki merujuk kepada angka pada tempat yang bersangkutan umumnya pada halaman yang sama, walaupun ada juga yang melanjutkan angka‐angka itu untuk setiap bab, bahkan untuk seluruh buku. Keterangan catatan kaki biasanya diset dengan korps huruf yang lebih kecil.

Orang yang suka menulis catatan kaki berpanjang‐panjang niscaya menimbulkan masalah pada penyusunan layout buku yang bersangkutan. Pernah ada masanya catatan kaki demikian menjadi mode karena dianggap sebagai ciri bahwa karangan tersebut bersifat ilmiah. Karangan yang tidak memakai catatan kaki dianggap bukan karangan ilmiah. Maka kian banyak catatan kaki yang dibuat, kian dianggap tinggi nilai ilmiah karangan tersebut. Dengan demikian orang menganggapnya sebagi lambang (simbol) keilmiahan, bukan hanya sekadar pembantu bagi pembaca yang ingin mengetahui atau meneliti lebih lanjut.

Tetapi memberikan catatan kaki mempunyai masalah tersendiri. Dengan mesin ketik manual, catatan kaki tidak mudah dibuat. Juga kalau karangan itu mau dimuat dalam majalah atau mau dijadikan buku, soal catatan kaki banyak menimbulkan persoalan layout bagi penerbit dan pengarang berhadapan dengan pihak percetakan.

Memberikan catatan pada kaki halaman bukanlah satu‐satunya cara yang biasa dipakai dalam penulisan karya ilmiah. Masih ada cara lain, misalnya yang di Indonesia mula‐mula dikembangkan oleh para sarjana Universitas Indonesia: Keterangan sumber kutipan atau rujukan tidak ditaruh pada kaki halaman dengan memberinya tanda berupa angka atau tanda lainnya, melainkan langsung di antara tanda kurung menyebut nama pengarang dan sumber karangannya.

Karena kalau judul buku atau judul karangan, serta majalah atau surat kabar yang memuatnya secara lengkap akan terlalu banyak memakan tempat, maka yang ditulis hanya angka tahun buku itu atau karangan dalam majalah itu terbit dan kadang‐kadang dengan nomor halaman yang menjadi rujukannya, misalnya (Achadiati Ikram, 1997, h. 24) merujuk kepada buku karangan Prof. Dr. Achadiati Ikram yang terbit tahun 1997, h. 24. Judul buku yang dimaksud dicantumkan dalam Daftar Rujukan atau referensi pada akhir karangan, yaitu Achadiati Ikram, Filologi Nusantara, 1997, Jakarta: Pustaka Jaya.

Dengan demikian pada akhir tulisan atau buku itu harus dicantumkan Daftar Rujukan (referensi) yang memuat keterangan lengkap tentang nama pengarang, judul karangan, tahun terbit, tempat terbit, dan nama penerbitnya. Karena mungkin saja seorang pengarang dalam satu tahun menulis buku atau karangan lebih dari satu, maka pada angka tahun itu sering diberi tanda a, b, c. Misalnya, angka 1950a, 1950b, 1950c yang maksudnya menunjukkan bahwa pada tahun 1950 orang itu menulis tiga buah karangan yang untuk membedakannya diberi tanda a, b, dan c.

Judul buku atau judul karangan, judul majalah atau surat kabar (kalau karangan itu dimuat dalam majalah atau surat kabar), tahun terbit, tempat terbit, dan nama penerbit ketiganya harus dimuat dalam Daftar Rujukan (Referensi). Cara penulisan catatan rujukan demikian memang lebih praktis karena tidak usah menempatkannya pada kaki halaman karena itu namanya pun tak tepat kalau “catatan kaki”.

Tetapi dalam karangan yang demikian, pada akhir karangan (atau pada akhir buku) harus dimuatkan Daftar Rujukan yang dimaksud. Artinya, segala sumber yang dirujuk dengan hanya menyebut nama pengarang dan tahun itu harus disebutkan pada Daftar Rujukan pada akhir karangan sehingga para pembaca yang penasaran dapat melacak kepada sumber rujukan. Tanpa adanya Daftar Rujukan pada akhir karangan maka penyebutan nama-nama di antara tanda kurung itu hanya akan menjadi teka‐teki belaka. Menimbulkan teka‐teki niscaya bukanlah sifat karangan ilmiah.

Pemakaian catatan kaki model kedua ini segera menjadi populer di antara para penulis Indonesia. Bahkan dalam karangan‐karangan yang bukan ilmiah pun, sering kita lihat ada tanda kurung yang disertai dengan nama orang dan tahun, malah nomor yang barangkali merujuk pada halaman sumber, tetapi pada akhir karangan tidak ada Daftar Rujukan atau referensi sama sekali. Maka para pembaca tidak tahu, apa arti nama orang dan tahun yang ditaruh di antara tanda kurung itu, walaupun misalnya nama itu dapat dikenal sebagai nama penulis. Tapi, kemana mencari rujukan judul karangan yang hanya diindikasikan dengan angka tahun terbitnya saja? Siapa yang hapal akan semua judul karangan seseorang lengkap dengan tahun terbitnya?

Dengan demikian, menaruh nama orang dan angka tahun di antara tanda kurung tanpa disertai dengan Daftar Rujukan atau Referensi pada akhir karangan, hanyalah merupakan gaya penulisan yang sok ilmiah tanpa memahami maksudnya. Cara demikian lebih banyak terdorong oleh kebiasaan ikut‐ikutan tanpa mengetahui sebab atau tujuannya. Sayangnya cara demikian kini telah menjadi gaya yang umum karena para redaktur yang memuatkan karangan itu dalam majalah atau surat kabar yang diasuhnya tampaknya juga tidak tahu latar belakang penggunaan cara begitu.

Begitu juga redaktur penerbit yang menerbitkan buku yang memakai cara demikian tapi tanpa menempatkan Daftar Rujukan atau Referensi pada akhir bukunya tampaknya tidak memahami tujuan pemakaian cara itu.

Masih ada cara lain lagi untuk menunjukkan rujukan dalam karangan ilmiah, yaitu perbauran dari kedua cara yang telah disebutkan tadi. Cara itu misalnya dipakai oleh Prof. Dr. Partini Sardjono Pradotokusumo dalam disertasinya Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad Ke‐20: Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks, 1986, Bandung: Binacipta).

Dalam disertasinya itu, Prof. Dr. Partini memakai catatan kaki, tetapi tidak menyebut judul karangan atau buku yang dirujuknya, melainkan hanya menyebut nama pengarang dan tahun terbit serta nomor halamannya saja. Keterangan lengkap tentang buku yang dirujuk itu terdapat pada “Pustaka Acuan” yang terdapat pada akhir buku. Tetapi Prof. Partini menganggap tidak penting menyebut nama penerbitnya, padahal hal itu penting bukan saja akan mempermudah pembaca yang ingin memiliki buku itu. Selain itu, karena kegiatan dunia penerbitan sekarang sering satu judul buku diterbitkan oleh bermacam penerbit dalam berbagi edisi yang sering pula berada di kota (tempat) yang sama.

Sumber: http://hendri180690.wordpress.com/2010/11/11/daftar-pustaka-kutipan-dan-catatan-kaki/

Gambar: ivonidiego.wordpress.com, bicarafilm.com, situsbina.wordpress.com, modification-blog.blogspot.com

Hakikat, Fungsi, dan Ragam Bahasa Indonesia

Bendera dan Bahasa indonesia

Tujuan mempelajari kajian bahasa Indonesia:
1. Menjelaskan hakikat bahasa Indonesia
2. Menjelaskan fungsi bahasa Indonesia
3. Menjelaskan ragam bahasa Indonesia
4. Membedakan ragam baku dan tidak baku
5. Membedakan ragam tulis dan lisan
6. Membedakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

Hakikat dan fungsi bahasa Indonesia
Pengertian bahasa
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana atau media. Bentuk dasar bahasa adalah ujaran. Ujaranlah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Bahasa=sarana komunikasi mencakup aspek bunyi dan makna

Sifat–sifat bahasa:
• Sistematik karena bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya
• Mana suka karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar
• Ujar, karena bentuk dasar bahasa
• Manusiawi, karena dimanfaatkan manusia

Fungsi bahasa:
• Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik antar anggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat
• Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca
• Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat, melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya
• Fungsi kontrol sosial. Bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain

Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi:
• Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu
• Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan prilaku orang lain
• Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
• Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
• Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
• Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi
• Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi

Fungsi bahasa Indonesia:
• Bahasa resmi kenegaraan
• Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
• Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
• Alat pengembangan kebudayaan

Fungsi bahasa indonesia sebagai bahasa baku:
• Fungsi Pemersatu, artinya bahasa Indonesia mempersatukan suku bangsa yang berlatar budaya dan bahasa yang berbeda-beda
• Fungsi pemberi kekhasan, artinya bahasa baku memperbedakan bahasa itu dengan bahasa yang lain
• Fungsi penambah kewibawaan, penggunaan bahasa baku akan menambah kewibawaan atau prestise
• Fungsi sebagai kerangka acuan, mengandung maksud bahwa bahasa baku merupakan kerangka acuan pemakaian bahasa

Ragam Bahasa Indonesia
Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi dalam masyarakat menggunakan bahasa, dan dalam masyarakat tersebut terdapat bermacam-macam bahasa yang disebut Ragam Bahasa. Indonesia merupakan negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau, yang dihuni oleh ratusan suku bangsa dengan pola kebudayaan sendiri-sendiri, pasti melahirkan berbagai ragam bahasa yang bermacam-macam dan ini disebut Ragam Bahasa Indonesia.

Ragam bahasa menurut sudut pandang penutur:
• Ragam daerah: logat/dialek
• Ragam pendidikan: bahasa baku dan bahasa tidak baku
• Ragam bahasa menurut sikap penutur: gaya atau langgam yang digunakan penutur terhadap orang yang diajak bicara

Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya:
• Ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan
• Ragam menurut sarananya: Lisan (dengan intonasi yaitu tekanan, nada, tempo suara, dan perhentian) dan Tulisan (dipengaruhi oleh bentuk, pola kalimat, dan tanda baca)
• Ragam yang mengalami gangguan pencampuran

Ragam bahasa menurut bidang wacana:
• Ragam ilmiah: bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah,ceramah, tulisan-tulisan ilmiah
• Ragam populer: bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tulisan populer

Ragam bahasa baku dan tidak baku
Ciri-ciri ragam bahasa baku:
• Kemantapan dinamis, memiliki kaidah dan aturan yang relatif tetap dan luwes
• Kecendekiaan, sanggup mengungkap proses pemikiran yang rumit di berbagai ilmu dan teknologi
• Keseragaman kaidah adalah keseragaman aturan atau norma

Proses pembakuan bahasa terjadi karena keperluan komunikasi. Dalam proses pembakuan atau standardisasi variasi bahasa, bahasa itu disebut bahasa baku atau standar. Pembakuan tidak bermaksud untuk mematikan variasi-variasi bahasa tidak baku. Untuk mengatasi keanekaragaman pemakaian bahasa yang merupakan variasi dari bahasa tidak baku maka diperlukan bahasa-bahasa baku atau bahasa standar.

Bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang dipergunakan dalam:
• Komunikasi resmi, yakni surat-menyurat resmi, pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya
• Wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah
• Pembicaraan di depan umum yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah
• Pembicaraan dengan orang yang dihormati yakni orang yang lebih tua, lebih tinggi status sosialnya dan orang yang baru dikenal

Ciri struktur (unsur-unsur) bahasa Indonesia baku adalah sebagai berikut:
1. Pemakaian awalan me- dan ber- (bila ada) secara eksplisit dan konsisten
2. Pemakaian fungsi gramatikal (subjek, predikat, dan sebagainya secara eksplisit dan konsisten
3. Pemakaian fungsi bahwa dan karena (bila ada) secara eksplisit dan konsisten (pemakaian kata penghubung secara tepat dan ajeg
4. Pemakaian pola frase verbal aspek + agen + verbal (bila ada) secara konsisten (penggunaan urutan kata yang tepat)
5. Pemakaian konstruksi sintesis (lawan analitis)
6. Pemakaian partikel -kah, -lah, dan -pun secara konsisten
7. Pemakaian preposisi yang tepat
8. Pemakaian bentuk ulang yang tepat menurut fungsi dan tempatnya
9. Pemakaian unsur-unsur leksikal berikut berbeda dari unsur-unsur yang menandai bahasa Indonesia baku
10. Pemakaian ejaan resmi yang sedang berlaku (EYD)
11. Pemakaian peristilahan resmi
12. Pemakaian kaidah yang baku

Ragam Bahasa Tulis dan Bahasa Lisan
Ada dua perbedaan yang mencolok mata yang dapat diamati antara ragam bahasa tulis dengan ragam bahasa lisan, yaitu:
a. Dari segi suasana peristiwa
Jika menggunakan bahasa tulisan tentu saja orang yang diajak berbahasa tidak ada dihadapan kita. Olehnya itu, bahasa yang digunakan perlu lebih jelas. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, dan hubungan antara setiap fungsi itu harus nyata dan erat. Sedangkan dalam bahasa lisan, karena pembicara berhadapan langsung dengan pendengar, unsur (subjek-predikat-objek) kadangkala dapat diabaikan.
b. Dari segi intonasi
Yang membedakan bahasa lisan dan tulisan adalah berkaitan dengan intonasi (panjang-pendek suara/tempo, tinggi-rendah suara/nada, keras-lembut suara/tekanan) yang sulit dilambangkan dalam ejaan dan tanda baca, serta tata tulis yang dimiliki.

Goeller (1980) mengemukakan bahwa ada tiga krakteristik bahasa tulisan yaitu accuracy, brevety, claryty (ABC).
Accuracy (akurat) adalah segala informasi atau gagasan yang dituliskan dapat memberi keyakinan bagi pembaca bahwa hal tersebut masuk akal atau logis
• Brevety (ringkas) yang berarti gagasan tertulis yang disampaikan bersifat singkat karena tidak menggunakan kata yang mubazir dan berulang, seluruh kata yang digunakan dalam kalimat ada fungsinya
Claryty (jelas) adalah tulisan itu mudah dipahami, alur pikirannya mudah diikuti oleh pembaca. Tidak menimbulkan salah tafsir bagi pembaca

Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topik pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu beragam baku. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa. Ada pun berbahasa Indonesia yang benar adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.

Sumber: http://joko1234.wordpress.com/2010/03/15/hakikat-fungsi-dan-ragam-bahasa-indonesia/
Gambar: netsains.com