Archive for the ‘Stories’ Category

TU, antara kuantitas dan kesegeraan

Entah kenapa rasanya kusut banget di pikiranku saat ini. Mirip benang yang awut-awutan ngga jelas. Banyak masalah yang datang di saat yang bersamaan. Bingung juga mau disampaikan kemana ‘buntelan benang’ ini. Semuanya ada permasalahan masing-masing. Jadi menulis mungkin setidaknya bisa mengeluarkan sebagian kecil uneg-uneg yang membekap. Kebetulan, blog ini terakhir di update ngga kurang dari 5 bulan yang lalu. Lama juga rupanya aku ngga menulis.

Benar atau tidak, mungkin ada hubungannya permasalahan-permasalahan saat ini dengan tugas baruku. Sekitar awal Maret 2013 ini, aku dipindahkan ke bagian Tata Usaha (TU), bagian yang sangat administratif dan memiliki pekerjaan rutin yang kompleks. Sebelumnya, bagian itu dihuni oleh staf yang kini sudah pindah ke unit lain. Staf tersebut memang cekatan kerjanya, mungkin karena sudah cukup lama juga bergelut dengan bidang ketata usahaan.

Terkadang, aku juga suka membandingkan antara aku dengannya. Jika dia bisa bekerja ‘sendiri’ dengan beban kerja yang kompleks dan pressure yang tinggi, kenapa aku ngga bisa? Memang sih, aku baru sekitar 3 bulan berada disana, masih banyak pekerjaan yang tercecer dan belum terselesaikan. Masih banyak belajar, masih banyak yang belum tahu.

Aku, tak ubahnya seperti aku yang dulu. Yang menyederhanakan masalah yang kutemui. Yang tak suka bila masalah itu melebar dan tak fokus. Ya itulah aku. Bila diaplikasikan ke dalam pekerjaan, beberapa ‘peninggalan’ metode dari ‘yang lama’ telah aku tinggalkan. Dengan metode sendiri, yang dikerjakan sendiri, mudah-mudahan lebih memudahkan aku. Walau pada kenyataannya belum memenuhi ekspektasi yang aku perkirakan.

Mungkin orang-orang di luar sana banyak yang merendahkan pekerjaan ini, atau underestimate istilahnya. Begitupun dengan aku dulu, sebelum dipindahkan ke tempat yang sekarang. “Apa sih kerjaan di TU? Gitu-gitu aja kan, surat-surat aja kan?” pikirku dulu. Simpel dan meremeh-temehkan pekerjaan yang satu ini, kendati belum pernah menjalaninya.

Dan waktu terus berjalan. Roda pun berputar. Dan aku dipindah kesana seiring perubahan yang terjadi di kantor. Entah apa yang melatarbelakangi kepindahanku kesana. Pada awalnya aku hampir menolak untuk dipindahkan, setelah berpikir tenang, aku ambil kesempatan ini. Hitung-hitung untuk mencari perubahan setelah sekitar 4 tahun berputar-putar dalam tugas yang sama.

Belajar mengenai hal yang baru itu sesuatu yang menjenuhkan sekaligus menyenangkan. Setiap hari berteman dengan surat. Surat masuk yang bermacam-macam jenis dan asalnya, bila sekali datang bisa mencapai puluhan surat. Entah itu dari TU Biro lain, TU Pimpinan, TU Departemen, surat dengan diantar langsung, dll. Setelah tiba, surat-surat itu ditempelkan kertas disposisi untuk kemudian diserahkan kepada pimpinan. Setelah pimpinan memberikan instruksi melalui kertas tersebut, kemudian di register.

Dulu, surat-surat masuk itu di register di sebuah buku tebal. Pada suatu waktu, aku sedang mencari disposisi suatu surat yang urgent. Mencarinya setengah mati di buku tebal itu. Bukan hal yang mudah. Setelah dapat nomor surat yang dimaksud, kemudian diteruskan dengan mencari di filing surat. Sekali lagi bukan hal yang mudah, terlebih bila ditunggu oleh si peminta surat tersebut, terlebih lagi bila susunan surat di filing acak-acakan dan tidak sistematis. Kini, atas dasar berbagai pertimbangan, aku lebih memilih untuk meng-input surat masuk dengan menggunakan komputer.

Setelah di input, kemudian kertas disposisi itu di register. Kemudian dipilah-pilah sesuai dengan kemana ditujukannya arahan dan perintah pimpinan. Jika terdapat dua atau lebih tujuan surat yang akan dikirimkan, maka harus diperbanyak terlebih dahulu sesuai dengan jumlah tujuan suratnya. Kemudian surat-surat itu pun dikirimkan. Done.

Hal yang berikutnya adalah agenda. Jumlahnya memang tak sebanyak surat masuk, tetapi ada saja hampir setiap harinya. Baik itu yang mendadak, mendesak ataupun masih lama untuk dihadiri. Agenda untuk keseluruhan bagian-bagian dan agenda pimpinan. Formatnya sama seperti surat masuk, hanya saja yang membedakannya adalah agenda berbentuk seperti undangan yang harus dihadiri. Proses inputnya pun aku samakan seperti surat masuk, tapi dengan format register yang berbeda.

Khusus untuk agenda pimpinan, aku juga tulis di whiteboard di ruang pimpinan secara update. Sekarang, setiap sore aku malah harus me-rekapitulasi agenda pimpinan untuk disampaikan ke TU Pimpinan. Memang sih sering terlewat untuk dibuat dan sering ditegur TU Pimpinan -___-.

Kemudian tentang penomoran surat keluar. Setiap hari juga hampir ada saja pegawai yang meminta penomoran surat keluar dengan berbagai kepentingan. Entah untuk surat tugas, surat biasa, keuangan, pribadi, kedinasan, laporan, dll. Rata-rata para pegawai ini meminta segera untuk dibuatkan penomoran. Mau cepat dan terkadang ada yang sambil ngedumel dan marah-marah L

Rekapitulasi ketidakhadiran pegawai dalam seminggu sering menjadi hal yang telat untuk dibuat. Biasanya ketika waktu sudah hampir menunjukkan jam pulang kantor, baru hal tersebut dapat dilakukan. Merekap seluruh data pegawai mulai dari sakit, izin, dinas luar dengan data-data yang bertebaran menjadi masalah.

Terlebih bila rekap tersebut berdekatan dengan pencairan uang tunjangan. Repotnya kemana-mana. Mulai dari yang komplen karena kepentingannya terlewat untuk kurekap, sampai orang yang bersangkutan telat untuk menyerahkan data-data absensinya. Tak jarang aku berujung emosi.

Tentang kenaikan pangkat adalah tugas TU berikutnya yang terkadang sering terlewatkan. Data-data yang belum komprehensif untuk kumiliki sekarang adalah salah satu kendalanya. Terlebih bila pimpinan meminta dibuatkan laporan tentang itu. Data-datanya dimana aku tak tahu.

Hal-hal lainnya yang juga harus dilakukan adalah menyiapkan ruang rapat, terkadang juga menjadi notulen rapat, membuat surat undangan rapat dan mengirimkannya ke berbagai tujuan, menyiapkan keperluan pimpinan dengan bermacam-macam kendala yang menyertainya.

Jika sebagian diantara tugas-tugas tersebut ada yang harus dikerjakan dalam waktu yang bersamaan dan diminta segera, rasanya membuat kepala ini mau berasap. Terlebih bila aku sendiri juga sedang ada masalah pribadi. Entah sampai sekarang aku belum menemukan titik solusinya. TU, antara kuantitas dan kesegeraan.

Bekasi, Sabtu, 25 Mei 2013, 11.45 WIB

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part VI

Lupakan tentang Planetarium untuk sementara waktu, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan di kota ini #okesip. Kamis siang yang terik, H-1 dimulainya kegiatan pameran, seluruh komponen yang terlibat dalam kegiatan ini berbenah secara serius demi lancarnya acara. Usai sesi pendokumentasian venue, Mas Mufid memberitahuku bahwa aku dan Mas Zaka harus segera menuju kantor rekanan untuk berkoordinasi perihal teleconference. Dengan diantar Pak Yanto, jadilah kami kembali ke kantor yang baru saja kami kunjungi beberapa jam yang lalu itu.

Sempat terjadi serangkaian kendala yang cukup memakan waktu terkait koordinasi diantara kami selaku panitia dengan kantor rekanan selaku penyelenggara teleconference. Tentang sarana prasarana dan infrastuktur yang sedianya kurang memadai, namun tiba-tiba dapat teratasi. Aku dan Mas Zaka berada disana dari siang hingga sore, sampai-sampai kami belum makan siang. Pak Yanto pun sampai ketiduran di mushola menunggu urusan kami. Sekitar jam setengah enam sore, kami meninggalkan kantor rekanan dengan urusan yang belum selesai dan akan dikabari bila diperlukan koordinasi lebih lanjut.

Sepanjang perjalanan, kucoba untuk menikmati suasana senja di kota ini. Salju turun begitu indahnya *lho lho apa ini*. Lalu lintas yang cukup ramai oleh debu kendaraan memaksaku untuk menutup kembali kaca mobil yang sempat kubuka. Kutengok jam tangan, sudah hampir maghrib. Pantas saja perutku semakin berteriak. Berhubung tadi pagi kami sudah check out dari Whi*z Hotel, untuk bermalam nanti dan beberapa hari ke depan kami akan menginap di Hotel In*a Garuda. Sebuah hotel besar yang terletak di simpang Jl. Malioboro.

Ketika pertama kali melihat suasana di sekitar Hotel, perhatianku langsung tertuju pada sebuah rangkaian tulisan sastra Jawa kuno raksasa. Mungkin berbahasa Sansekerta, dan aku tak tahu apa artinya. Yang aku tahu, aku harus berfoto di depan tulisan itu sebelum aku meninggalkan kota ini, haha. Memasuki pelataran Hotel, sesuai pesan yang dikirimkan Rena, hal pertama yang harus aku lakukan adalah mengambil kunci kamar untuk aku dan Mas Zaka, kemudian mengambil menu makan siang (yang tertunda) di kamar Mas Budi.

Setibanya kami di kamar Mas Budi, bergegas kami menyantap menu makan siang yang dimakan menjelang malam berupa bebek goreng. I like it, hmmm. Usai shalat maghrib dan mandi, secepat kilat kami turun kembali ke lobby untuk menuju ke Taman Pintar. Tak lupa kubawa menu nasi bebek goreng untuk Pak Yanto. Berangcus lah kami bertiga menuju Taman Pintar. Di tengah perjalanan, Mas Zaka berpesan ke Pak Yanto untuk sekalian membeli kabel untuk kebutuhan teleconference. Sedangkan aku juga dipesan untuk membeli buku tamu untuk pembukaan pameran esok hari.

Selesai membeli buku tamu dan beberapa spidol tulis kecil di Toko Buku Gram*dia, kami meneruskan perjalanan ke Taman Pintar. Setibanya disana, kudapati suasana sedang kurang bersahabat. Aku tak tahu apa yang telah terjadi sebelumnya. Kemudian kubantu teman-teman untuk merapikan booth yang masih berantakan. TV LCD yang segede gaban mulai kelihatan fungsinya. Sekumpulan video dokumenter yang kami bawa dari Jakarta membuat TV itu nggak sekedar mejeng doang di pojok kiri booth.

Beberapa gambar pimpinan tertinggi kami mulai menempel di dinding booth. Dengan dibantu Mas-mas EO, kami menyusun dan mempercantik booth. Setelah dirasa lumayan okeh, kami beristirahat sejenak. Tak lama kemudian, perutku kembali ber-orkestra. Kuacak-acak kolong meja kecil di beranda booth, berharap menemukan sebongkah makanan yang bisa dikunyah. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku dan Laila, dua orang yang tersisa di booth, memutuskan untuk sejenak ke mini market di sekitar Taman Pintar untuk membeli makanan.

Beberapa botol air mineral, roti dan snack menjadi objek buruan kami. Lumayan lah buat senggol-senggol perut biar nggak berisik. Selesai beres-beres booth, kami beristirahat sejenak. Laila yang sedang nggak enak badan, izin pamit duluan ke Hotel. Setibanya Mas Zaka, Rena, dan Mas Budi di Taman Pintar dari membeli perlengkapan yang kurang untuk keperluan acara pembukaan besok pagi, mobil yang dikemudikan Pak Yanto terpaksa aku dan Soni ‘bajak’ sebentar untuk makan malam.

Jam setengah dua belas malam, mau nyari makan dimana? Nasi kucing angkringan kurang ‘nampol’ sepertinya. Kutanya Pak Yanto, dimana tempat makan yang masih buka jam segini? Ternyata beliau punya referensi yang cukup ciamik, mie ayam Kad*n nama tempatnya. Lokasinya nggak terlalu jauh dari Taman Pintar. Selesai makan, dan kembali ke Taman Pintar sekitar jam 12 malam. Aku, Soni, dan Mas Zaka menuju Hotel, sedangkan Mas Budi, Asep dan Rena masih berkutat di Taman Pintar. Aku yang nggak biasa begadang, nggak lama kemudian langsung tiarap.

Bekasi, 27-12-2012—20.35

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part V

Hoooaaahmm. Pagi yang cerah di Jogja menyapaku lewat sentuhan sinar mentarinya. Rasa kantuk yang menggila masih memberatkan kedua kelopak mataku. Siaran TV masih sama seperti yang terakhir kulihat semalam, rupanya belum sempat dimatikan TV-nya. Kududuk di samping Pak Kusir tempat tidur, dan kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Kenapa aku bisa ada disini? Apa yang terjadi denganku? Ooh tidak. Oh My God. Ya ampuun *alay gak sih? :D*.

Usai mandi, aku dan mas Zaka segera turun ke lobby dan menuju ke breakfast room. Disusul mas Budi dan Asep di urutan ketiga dan keempat setelah melewati tikungan terakhir -___-. Btw, Asep tokoh berikutnya yang aku munculkan dalam cerbung kacrut ini, salah satu anggota tim yang berjumlah delapan orang. Nasi goreng menjadi pilihanku untuk menikmati sarapan pagi di hotel ini, ditemani dengan roti bakar isi selai nanas, teh manis hangat dan juice jeruk *temennya banyak aja*.

Rena dan Laila, dua orang wanita di sarang penyamun tim delapan, hadir beberapa saat kemudian sambil membawa menu sarapannya masing-masing. Berarti tinggal dua orang lagi yang belum menampakkan batang hidungnya, mas Mufid dan Soni. Hingga sarapanku hampir habis, belum muncul juga kedua orang itu. Tidurnya pulas atau mandinya yang lama? Padahal pagi ini kami harus segera check out. Tak lama kemudian, muncul juga mereka ketika waktu hampir injury time.

Usai sarapan, ternyata kami sudah ditunggu Pak Yanto di lobby hotel. Pak Yanto pun dengan sigap membantu kami membawa barang-barang kami ke dalam mobil. Setelah check out dari Whi*z Hotel, perjalanan kami berikutnya adalah menuju kantor rekanan yang akan menjadi partner kami dalam kegiatan pameran di Taman Pintar. Setibanya di kantor rekanan, kami langsung melakukan meeting singkat untuk persiapan akhir kegiatan.

Meeting singkat yang diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja membawa kami bertolak kembali ke Taman Pintar. Ternyata oh ternyata, kehidupan di Taman Pintar ketika matahari bersinar adalah mayoritas menjadi dunia bermain bagi anak-anak. Meskipun tidak sedikit juga pelajar yang melakukan aktivitas belajar lainnya di area ini. Karena suasana sangat ramai, mobil kami hanya diizinkan parkir sebentar di dalam untuk sekedar mengeluarkan barang-barang bawaan kami di mobil. Setelah itu, Pak Yanto memarkirkan mobil di samping Taman Pintar.

Suasana loading barang yang riuh di dalam ruang serbaguna sedikit membuatku terjaga dari kurungan rasa kantuk yang memenjarakanku. Booth kami yang semalam mati suri, kini mulai berdenyut. Beberapa teman tampak mulai beraktivitas merapikan booth kami. Begitupun halnya yang dilakukan para peserta lainnya. Aku sendiri tak lama berada di dalam ruang serbaguna, untuk kemudian bergegas kembali mendokumentasikan situasi dan kondisi terkini di Taman Pintar *halah*.

Siang hari yang sedikit diwarnai mendung, meskipun tak lama kemudian diguyur panas matahari kembali. Jl. P. Senopati di siang itu tampak padat dengan aktivitas lalu lintas, sehingga membuat kami sedikit kesulitan ketika ingin menyeberang. Tapi untunglah, Bapak-bapak petugas keamanan dari Taman Pintar membantu kami dengan baik. Aku dan mas Zaka memulai aktivitas pendokumentasian dengan mengambil beberapa shoot jalan raya, Taman Pintar tampak depan, spanduk, baliho, dan beberapa atribut lainnya. Rencananya, hasil shoot video kami hari ini dan pembukaan pameran keesokan paginya akan ditayangkan pada live teleconference dengan Jakarta usai shalat Jumat esok.

Jika diperhatikan, meskipun lalu lintas disini cukup tinggi kepadatannya, sebagian besar pengendara kendaraan bermotor masih mematuhi peraturan tertib berlalu lintas dengan cukup baik. Para pejalan kakinya pun juga lumayan tertib, menyeberang jalan di zona yang telah ditentukan. Serapi-rapinya keadaan berlalu-lintas disini, tetap ada oknum pelanggar lalu lintasnya juga memang, namun kurasa intensitasnya cukup kecil ya.

Setelah dirasa cukup untuk sesi pengambilan gambar video suasana Taman Pintar beserta dokumentasi pendukungnya, kami pun kembali ke dalam Taman Pintar. Aku yang berjalan di belakang mas Zaka sengaja berjalan lebih perlahan untuk melihat-lihat suasana area Taman Pintar ketika siang. Patung anak kecil yang kulihat semalam masih berada di tempatnya seperti pertama kali kulihat. Air mancur yang dipenuhi anak-anak kecil, sekolah bermain bagi anak-anak, dan sebuah kubah yang berada di sisi kanan dari pintu masuk Taman Pintar. Tunggu dulu, kubah apa itu?

Sepertinya kubah itu bukan suatu Masjid. Bukan juga ruang perkumpulan atau warung kopi, apalagi rumah Patrick Star temannya Sponge Bob Squarepants. Rasa penasaran menuntunku untuk mendekati kubah ajaib itu. Kalau dilihat-lihat dari stiker yang menempel pada jendela bundar di kubah itu, kok banyak gambar-gambar planet, bulan, bintang, dan beberapa jenis anggota Tata Surya lainnya. Apakah ini NASA? -___-

Berdasarkan penyedilikan, eh penyelidikan aku, tak disangka dan tak dinyana, rupa-rupanya kubah ini adalah sebuah hanggar pesawat UFO *salaah*. Ternyata kubah ini adalah sebuah Planetarium. Sekali lagi Planetarium. Planetarium pemirsa. Bayangkan, Planetarium !!! *euforia berlebihan*. Ya, sedari dulu aku memang ingin sekali ke Planetarium, entah itu yang di Bosscha Bandung atau Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tapi sampai sekarang belum kesampaian *sedih ya*. Oke, part kali ini ditutup dengan ending yang kurang enak.

Bekasi, 17-11-2012—21.17

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part IV

Suasana tengah malam yang sepi dan dingin, tak menciutkan langkahku untuk menelusuri beberapa area di lingkungan Taman Pintar. Dengan menggandeng kamera C*non EOS 30D kuambil beberapa jepretan di sudut-sudut Taman Pintar. Sesekali terdengar auman harimau *berasa di kebon binatang, salah ini*. Sesekali terdengar deru kendaraan roda dua yang membunuh heningnya Jogja malam ini.

Kutengok jam tangan, pukul satu dini hari. Setelah selesai kuambil gambar monumen yang ada di tengah-tengah Taman Pintar, aku bergegas keluar area Taman Pintar dan menyeberang ke sisi jalan luar untuk mengambil gambar tampak depan dari Taman Pintar *teetooott mengulang kata Taman Pintar*. Spanduk, baliho, dan beberapa atribut lainnya menambah semarak perhelatan yang akan digelar selama dua hari ini. Setelah puas jepret sana jepret sini, kulangkahkan kakiku kembali memasuki pelataran Taman Pintar.

Seorang satpam yang bertugas disana rupanya memperhatikan gerak-gerikku sedari tadi. “Selamat malam mas, apakah mas sudah izin untuk ambil gambar?” katanya ramah. “Belum Pak,” jawabku. “Ini sudah tengah malam mas, sebaiknya mas teruskan besok pagi saja,” katanya kembali. “Baik Pak. Terima kasih ya,” kataku. Kupikir-pikir benar juga, daerah orang yang belum aku kenal situasinya, lebih baik bertanya dulu bila ingin melakukan aktivitas, terlebih ini sudah lewat tengah malam.

Sebelum aku menuju ke ruang serbaguna yang menjadi lokasi utama tempat diselenggarakannya kegiatan tersebut, aku sempat melihat beberapa spanduk kecil di dekat monumen yang kulewatkan untuk didokumentasikan. Kuarahkan bidikanku ke spanduk yang menjadi target utamaku. Jepret. Kemudian aku zoom out dari objek yang sama. Tapi, tunggu sebentar. Tiba-tiba aku melihat sesuatu, eh bukan, tapi tampak seperti seseorang di dekat spanduk itu. Seorang anak kecil lebih tepatnya.

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Sekujur tubuhku merinding disco. Tanganku mendadak gemetar. Kakiku kemudian berdansa *abaikan*. Aku mendadak lemas. Perlahan kuintip dari balik body camera yang sedang kupegang. Apakah anak itu benar-benar ada atau hanya tampak dari lensa kameraku. Kalau memang benar-benar ada, mau kusuruh untuk beli cemilan #-___-. Bukan, maksudnya, kalau memang benar-benar ada, ya berarti dia memang seorang anak kecil. Tapi sedang apa seorang anak kecil disana tengah malam begini?

Kalau dia hanya tampak dari lensa kameraku saja, dan dia tidak benar-benar nyata ada di dekat spanduk, aku harus bersiap-siap lari dari TKP. Pelan-pelan kugeser pandanganku dari balik lensa. Kutahan nafas, kukeluarkan dalam bentuk *sudah2 jangan teruskan*. Kupejamkan mataku ketika lebih dari setengah body camera sudah kugeser dari hadapanku. Kubuka mata pelan-pelan. Sambil berdoa dan make a wish semoga anak kecil itu bukan hal yang aneh-aneh. Ini baru hari pertama lho, masa udah ketemu yang aneh-aneh -___-.

Setelah membuka mata, spontan kuucap istighfar atas keterkejutanku ketika kudapati bahwa seorang anak kecil yang tadi kulihat dari balik lensa kamera ternyata adalah, ternyata adalah, ternyata adalah: sebuah patung. #Sekian.

Usai kejadian konyol itu, aku bergegas menyusul teman-temanku yang memang sudah berada di dalam ruang serbaguna sedari tadi. Sesekali ku menoleh ke arah belakang, khawatir patung anak kecil yang tadi mengikutiku -___-. Di dalam ruangan tersebut, sudah berderet rapi booth yang akan digunakan untuk pameran keesokan harinya. Beberapa teman sedang berdialog serius dengan EO yang menjadi rekanan kami dalam kegiatan ini.

Mataku sudah merah menahan kantuk. Kami semua hingga jam setengah dua dini hari masih berada disini, demi mempersiapkan segala sesuatunya untuk memfasilitasi para peserta pameran supaya kegiatan pameran ini dapat berjalan dengan sukses. Aku berjalan menyusuri setiap booth. Kutelusuri lorong-lorongnya untuk memastikan bahwa sebagian besar persiapan memang sudah berjalan dengan baik. Satu-satunya booth yang hampir rapi di malam itu adalah booth milik salah satu instansi pemerintah di ibukota. Sementara booth kami masih nol 😀

Tak lama kemudian, bapak-bapak petugas keamanan yang tadi menegurku tiba-tiba datang ke ruangan. Mereka memberitahu kami bahwa sekarang sudah terlalu larut malam untuk melakukan aktivitas persiapan pameran di area Taman Pintar. Kami pun merespon baik dan segera menyudahi aktivitas beberes kami di Taman Pintar. Usai beberes-beres, next destination is: angkringan. Yeeeyy *lebay*. Kalau nongkrong di angkringan di Jakarta sudah pernah, tapi di ‘sarangnya’ angkringan belum pernah. Dan sekarang inilah kesempatanku *devil laugh**semakin ngalay*.

Keluar dari Taman Pintar, aku tak tahu mau dibawa ke angkringan yang di sebelah mana. Karena di kota ini, angkringan ada dimana-mana. Rombongan kami muter-muter nggak jelas. Mirip abege labil. Hingga pada akhirnya kami menambatkan hati pada mas-mas angkringan yang ngetem di dekat gedung milik sebuah instansi pemerintah daerah. Sate usus, sate hati ayam, dan jahe susu menjadi teman kami menjemput pagi. Karena aku bukanlah orang yang kuat begadang, mataku semakin memerah menahan kantuk yang semakin sangat terasa.

Kurang lebih jam tiga dini hari kami kembali ke hotel Whi*z setelah puas nongkrong bareng di angkringan yang ditutup dengan foto bersama. Untung mas-mas angkringannya nge-take dua kali fotonya, karena foto yang pertama gak jelas fokusnya kemana. Aku bisa membayangkan bagaimana melakukan aktivitas di pagi nanti dengan kondisi tubuh yang kurang tidur. Saatnya merebahkan diri dalam hangatnya kota ini.

Bekasi, 15-11-2012—08.38

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part III

Perjalanan dinas kali ini terasa berbeda, karena kota yang dituju adalah kota yang aku inginkan, meskipun aku tak meminta sama sekali untuk ikut diberangkatkan dalam tugas ini. Terakhir kali aku ke Jogja dan sekitarnya itu kira-kira tahun 1990, dan itu berarti sekitar 22 tahun yang lalu. Pesawat Li*n Air sudah berdiri gagah di hadapanku. Kunaiki tangga pesawat satu per satu sambil membaca doa selamat.

Daripada bengong, aku keluarkan buku yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk kubaca selama perjalanan. Kusandarkan kepalaku di samping jendela pesawat sambil sesekali memandang kelap-kelipnya cahaya lampu kota Jakarta di malam hari. Setengah jam mengudara, aku pun terlelap.

Sekitar jam setengah sembilan malam, kami pun tiba di bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Alhamdulillah kami sampai dengan selamat setelah menempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Setibanya disana, kami sudah dijemput oleh Pak Yanto, seorang supir dari rekanan transportasi yang akan membantu kami menjelajahi Jogja.

Meskipun sudah malam, suasana masih lumayan ramai. Kupandangi kota ini dengan segenap sisinya. Banyak hal-hal menarik dan ide-ide kreatif yang kutemui. Tak heran kalau kota ini banyak melahirkan seniman yang berbakat. Jalanannya pun bebas dari sampah. Bersih sekali. Hawa bumi yang basah oleh bekas air hujan membuat sejuk malam ini.

Rombongan berdelapan plus Pak Yanto dan berjubelnya barang-barang bawaan kami membuat sesak yang amat sangat terasa menggelora di dalam mobil. Untung berat badan kami rata-rata semua, hahaha. Canda gurau, caci maki dan beberapa umpatan menemani perjalanan kami menuju hotel. Hotel Amar*s yang sedianya menjadi tempat menginap kami untuk malam ini urung terwujud, karena sudah full book. Untungnya, tak lama kemudian kami mendapat gantinya. Hotel Whi*z, sebuah hotel kecil yang terletak di gang tembusan Jln. Malioboro menjadi tempat bermalam kami.

Usai beristirahat sejenak, perut yang lapar mulai mengetuk dinding lambung. Kutanya pada tokoh utama hajat kegiatan pameran hukum ini, mas Budi, perihal makan malam. “Makan malam dimana nanti mas?,” tanyaku. “Nanti kita makan sekalian ketemu sama EO-nya. Gw mandi dulu ya. Nanti ketemu di lobby aja,” jawab mas Budi. Aku pun mengiyakan dan segera meluncur ke lobby.

Kurang lebih jam 11 malam, kami bergerak menuju TKP yang telah disepakati dengan EO, sebuah tempat makan khas Jogja. Gudeg Perm*ta namanya. Banyak hal yang dibahas disana, dari mulai booth sampe ke konsumsi. Dari mulai makan pake ayam atau pake telor #abaikan. Suara pengamen jalanan menemani makan malam kami (yang telat). Btw, pengamennya gak cuma modal kecrekan doang, ini beneran bawa gendang sama bass betot yang segede gaban.

Suasana malam yang hangat membawaku keluar sejenak dari rumah makan tersebut. Kupandangi jalan raya yang kosong di depanku. Sunyi. Sepi. Aahh tak terbayang bagaimana rasanya ketika aku benar-benar bisa menjejakkan kaki di kota ini. Sebenarnya aku dan teman-teman kampus pernah merencanakan untuk liburan ke Jogja. Tapi rencana tinggal rencana saja. Minus implementasi. Mentok di waktu yang sulit untuk dikompromikan.

Suara kendaraan roda empat yang barusan lewat membuyarkan lamunanku. Mobil itu tepat berhenti ketika lampu lalu lintas sedang menyala merah di sebuah pertigaan. Dengan kondisi sekitar jam setengah 12 malam, nggak ada kendaraan lain selain mobil itu, suasana jalan raya yang sepi dan kosong, aku tertegun memandang kendaraan tersebut. Apakah orang-orang disini memang benar-benar taat peraturan atau aku sedang bertemu random sample orang yang taat peraturan?

Selesai makan, kami berangkat menuju venue yang akan dipergunakan untuk pameran. Lokasinya berada di Taman Pintar Yogyakarta, di Jl. P. Senopati. Kalau melihat lokasinya, kayaknya sepi-sepi aja. Ya iyalah secara kita-kita tengah malem kesananya #koplak.

Bekasi, 04-11-2012—23.41

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part II

Tanpa dikomando, folder-folder yang ada di kepala bergegas mencari cara dari setiap kemungkinan yang ada, untuk aku mengembalikan kunci motor yang terbawa ini. Dari mulai hal yang nggak rasional, semi rasional, sampe yang agak rasional semuanya menyajikan pilihan. Saking begitu banyaknya pilihan yang ada, aku sampe terbengong-bengong menyandarkan kepalaku di kaca jendela taksi dan menatap kosong jalan raya yang ramai.

Sejurus kemudian muncul ide yang agak nyeleneh bin aneh. Agak ekstrim juga sih sebenarnya. Caranya adalah dengan meminta tolong salah seorang pegawai, yang sebenarnya dia adalah pegawai senior jauh di atas saya, untuk mengambil kunci motor ini langsung di bandara Soekarno-Hatta. *Jleebb*. Mau nggak mau, ini salah satu cara tercepat untuk mengembalikan kunci motor yang terbawa ini kepada pemilik sahnya. Dengan sejumlah pertimbangan, akhirnya aku menyetujuinya.

Rombongan kami tiba di terminal 1A bandara Soekarno-Hatta sekitar jam 5 sore. Karena perut kami sudah memainkan perkusi yang membuat gaduh, akhirnya kami berlabuh di sebuah restoran fast food yang ada di dalam bandara sambil menunggu utusan yang datang untuk menjemput kunci motor. Aku pun mulai galau, khawatir sang utusan tidak datang tepat pada waktunya. Pasalnya, pesawat kami boarding jam 18.30.

Adzan maghrib pun menggema, sang utusan masih belum nampak. Pikiranku carut marut. Mungkin dia nggak jadi datang, mungkin dia telat karena macet, atau mungkin juga dia datang setelah pesawat kami take off. Option terakhir membuatku mulai merasa nggak enak dengan sang utusan pada akhirnya. Bagaimana nggak, aku sudah meminta tolong dia jauh-jauh ke bandara untuk mengambil kunci motor, kalau option ketiga yang terjadi, nggak tau deh mesti gimana.

Jam 18.15 beberapa teman rombongan mulai bergegas masuk ke area boarding, dan aku ditemani mas Zaka, salah satu anggota tim juga, menunggu kehadiran sang utusan dengan perasaan dag-dig-dug *nggak pake dueerr*. Waktu terasa berjalan cepat. Tiba-tiba Mas Mufid, ketua rombongan *ceilee ketua :p*, mengabarkan bahwa sang utusan yang ditunggu-tunggu sudah datang. Mendengar hal tersebut, aku mulai merasa lega. Tapi kok penampakan wujudnya nggak kelihatan ya. Detik-detik menjelang boarding menambah galau.

Aku berdiri tepat di depan pintu masuk pemeriksaan penumpang. Celingak-celinguk ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi, ke kiri lagi, sambil salto dan koprol sekali-sekali, nggak terlihat juga. Dimana tuh orang, pikirku. Kutengok jam tanganku, pukul 18.30. Jreeenngg *bukan suara gitar*. Mas Mufid call: “Dimana Ted? Tuh orangnya udah nungguin di dalam. Buruan,” kata Mas Mufid. “Di dalam? Dalam mana?,” jawabku. “Di dalam sini,” katanya lagi.  Kutengok ke belakang, tiba-tiba sang utusan sudah berada di dalam. Koplak banget aku nungguin dari tadi di luar.

Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menghampirinya dan memberikan selamat sebuah kunci motor yang menjadi perbincangan hangat sejak sore tadi. Tak lupa aku ucapkan terima kasih yang mendalam atas kehadirannya *opo toh*. It’s like a miracle. Pas pada waktunya, dan nggak bergeser dari ketetapan-Nya. Simcard-ku aktif pas di saat orang-orang ingin menghubungiku, terutama soal kunci motor itu. Dan satu lagi, kehadiran sang utusan yang pas di saat boarding. Alhamdulillah.

Bekasi, 04-11-2012—16.00

JJJ *Journey Jakarta-Jogja* – Part I

Pernah mengalami perasaan yang tak bisa dijelaskan? Pasti pernah lah ya. Tapi kali ini aku nggak berbicara tentang orang, melainkan tentang kota. Kota? Ya, kota. Kota yang sangat aku idam-idamkan ingin kujejakkan langkahku disana. Nggak keluar pulau kok, masih di tanah Jawa. Sepertinya ada magnet kuat yang menarikku kesana. Magnet yang tak bisa dijelaskan, tak bisa diungkapkan, dan selalu akan menjadi misteri. Yogyakarta, demikian nama kota itu.

Sebuah kegiatan rutin tahunan di kantorku yang biasa dilaksanakan di Jakarta, tiba-tiba diusulkan untuk diselenggarakan di daerah. Dengan segudang hambatan yang melatarbelakanginya, jadilah kegiatan bertajuk pameran hukum tersebut dilaksanakan di kota lain. Dan kota yang menjadi tempat perhelatan pertama kalinya itu adalah… Yogyakarta. *jreeeng-suara gitar*

Aku sebenarnya tak berharap banyak untuk ikut serta di dalam tim yang akan diberangkatkan ke Jogja itu. Dengan masalah keuangan yang ada, aku cukup realistis. Yang aku harap, tim yang akan diberangkatkan tersebut haruslah berkontribusi maksimal dalam kegiatan tersebut. Bukan ‘tim hore’ yang hanya akan menjadi beban bagi punggawa lainnya. Namun, di hari-hari akhir sebelum keberangkatan, namaku muncul di dalam tim.

Rabu sore, 17 Oktober 2012 sekitar pukul 15.30 WIB, rombongan yang beranggotakan 8 orang tersebut bergegas berangkat dari kantor di Kuningan menuju bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pesawat Li*n Air yang akan kami tumpangi direncanakan take off sekitar pukul 19.00 WIB. Sebelum take off, aku sudah mengalami dua hal yang ‘pas’ timing-nya. It’s like a miracle.

Sejak hari Senin hingga detik-detik sebelum keberangkatan, simcard handphone-ku error. Nomorku menjadi lost contact. Handphone ‘aktif’, tapi ‘mati’, begitu kira-kira. Rabu siang, kusempatkan diri untuk mampir ke Galeri Ind*s*t yang ada di salah satu Mall di sekitar Kuningan. Bersama dengan Rena, salah satu anggota tim, yang juga memiliki kepentingan dengan provider yang sama, tapi untuk kasus yang berbeda.

Kami menuju ke Mall tersebut sekitar jam 1 siang, padahal rencana awal berangkat ke bandara jam 3 sore. Agak riskan sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, aku harus segera mengganti simcard untuk kebutuhan komunikasi. Biar lebih menghemat waktu, idealnya kami berangkat dengan mengendarai motor. Kebetulan motorku diparkir di tempat yang agak sulit untuk dikeluarkan, jadilah kami dipinjami motor milik Mbak Yuni, salah seorang rekan kantor.

Kunci motor pinjaman tersebut sudah dalam genggamanku. Tapi kalau dipikir-pikir, waktu tempuh mengendarai motor nyaris sama bila dibandingkan dengan berjalan kaki, karena rute motor harus berputar melewati jalan raya. Dengan kunci motor di saku baju, jadilah kami berjalan kaki menyusuri usangnya aspal dan siraman terik matahari.

Selesai urusan dengan provider tersebut, kami masih disibukkan dengan sejumlah item titipan dari rekan-rekan kantor. Dan waktu terus berjalan. Akhirnya, kami kembali ke kantor sekitar jam 3 sore. Shalat Ashar, dan tak lama kemudian kami berangkat ke bandara dengan menumpang taksi. Selama perjalanan, aku mencoba untuk mengaktifkan handphone dengan simcard yang baru saja ku ganti tadi siang. Tapi tetap saja belum mendapat sinyal.

Tiba-tiba, kira-kira di sekitar Tomang, handphone-ku ada panggilan masuk. “Wah udah bener lagi nih hape,” kataku. Kujawab panggilan masuk yang ternyata dari Rena. “Halo, kenapa Re?,” tanyaku. “Kunci motornya Mbak Yuni kebawa ya?,” tanyanya. “Astaghfirullah iya kebawa,” jawabku. *Jleebb*.

Bekasi, 04-11-2012—14.30

Menyikapi Makna Tahun Baru

Suara riuh rendah petasan dan kembang api menghiasi langit malam yang cerah ini. Di beranda, Januari sudah bersiap-siap mengetuk pintu rumah kita dan mengucapkan “Selamat Datang”. Sementara di belakang rumah, Desember tampak sudah berkemas-kemas membawa segenap kenangan yang kita miliki dalam kurun waktu dua belas bulan terakhir. Dan kini, saya pun bertanya kepada diri sendiri. Apa saja yang sudah saya lakukan selama satu tahun kemarin?

Semua yang sudah kita jalani di tahun 2011 kemarin merupakan sebuah perjalanan yang sarat makna dan warna-warni, serta lika-liku kehidupan. Dan, sudah selayaknya kita bersyukur hingga langkah terakhir yang membawa diri kita ke dalam kondisi kita saat ini. “Bapak Manajamen Modern” Alm. Peter Drucker mengingatkan kita, “Dalam kenyataannya kita pun tidak bisa mengubah fakta. Tetapi kalau kita melihat dengan cara yang berbeda, maka kita akan menemukan arti yang berbeda (different meaning).”

Mengutip pesan di atas, evaluasi diri dari refleksi akhir tahun yang kita buat dapat kita jadikan pijakan untuk melangkah ke depan dengan melihat semua pencapaian melalui sudut pandang yang berbeda. Tahun baru tidak akan menunggu kita untuk siap. Kita lah yang harus berjuang (fight) untuk meraih kesuksesan yang tersirat di dalamnya. Kurang lebih ada 8.760 jam yang menunggu kita untuk merancang asa baru yang ingin kita capai dari sebuah target besar.

Refleksi diri

Evaluasi diri atas segala yang telah kita lakukan, baik itu capaian atau sasaran yang meleset dari target, dengan harapan agar kita menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Renungan atau muhasabah biasanya menyangkut kepada 3 aspek. Pertama, berkaitan dengan hal-hal yang diperintah atau kewajiban. Kedua, berkaitan dengan hal-hal yang dilarang, seperti dosa-dosa dan maksiat. Kemudian yang terakhir berkaitan dengan umur yang telah digunakan.

Apapun yang kita lakukan pada hari ini akan menentukan masa depan. Lembaran baru telah kita buka. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Sekarang, saatnya kita bangkit dan membuat semuanya dengan lebih sistematis dan terorganisir. “Buatlah perhitungan mengenai dirimu, sebelum kamu dihitung, dan timbanglah (amalmu) sebelum kamu ditimbang. (Sunan Tirmidzi dan Mushannaf ibn Abi Syaibah).

Bekasi 2012_01_01:14_38
Tedy

Mudik itu silaturahim

Kupejamkan mata sesaat. Tapi gak bisa. Kucoba lagi. Tetep gak bisa. Suara tangis anak kecil di sebelah tempat dudukku menambah gaduh suasana yang memang telah gaduh sebelumnya. Ibu sang anak itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meredakan tangisnya. Sesaat tangisnya mereda, namun tak lama kembali meledak. Tapi Alhamdulillah, hingga paragraf ini selesai dibuat, tangis anak itu sudah selesai. Mungkin dia gerah dengan situasi ini.

Kotak besi ini terdiam untuk beberapa belas menit. Lalu kembali bergerak lagi sesaat untuk beberapa meter. Namun kembali terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama. Saking lamanya, si bapak supir itu sampai mematikan mesin kendaraan yang dikemudikannya. Pemandangan yang terhampar puluhan meter ke depan hanya antrean kendaraan roda dua hingga roda enam.

Kuraih kaca jendela di sebelah kananku. Agak keras. Hembusan angin sejuk bercampur hawa panas memasuki ruang sempit ini setelah ku berhasil untuk membukanya. Dalam tayangan di televisi semalam, aku hanya dapat menyaksikan liputannya lewat layar kaca itu. Tapi saat ini aku mengalaminya langsung. Real. Nyata. Sesuai prediksi presenter televisi itu, hari ini diyakini akan menjadi puncak arus balik tahun 2011. Dan aku, keluargaku serta para penumpang lain terjebak di dalamnya. Aihh.

Terdiam. Panas. Gerah. Berisik. Semua kata2 di awal paragraf ini campur aduk menyeruak di benakku. Suara orang memainkan game di gadget canggihnya bercampur ocehan2 gaduh para penumpang menyesaki ruang yang berukuran kira2 2×9 meter ini. Untung tangis bocah tadi sudah mereda. Coba kalau suara falsetonya ikut berkolaborasi di dalam pentas ini, entahlah apa yang akan terjadi.

Kutengok lagi tulisan di sebelah kananku. Masih belum berubah. Tulisan “Selamat Datang SPBU 34-43307 Sekarwangi-Cibadak” masih nampak. Tidak ada perubahan bentuk maupun kata2nya. Di samping kiri masih terhampar pemandangan mahal yang tidak akan ditemui di kota metropolitan. Bukit beserta pegunungan yang mulai “botak” menemani kegaduhan ini.

Kutengok jam di telepon genggamku. Hampir pukul 14.30 sore. Artinya sudah hampir 6 jam berlalu sejak rombongan keluargaku ini meninggalkan kampung halaman untuk kembali beraktivitas di ibu kota. Sudah 6 jam namun belum keluar dari Cibadak!!! Wah parah pisan macetnya. Hareudang. Hareudang. Begitu kalo kata orang sini. Kalo di Jakarta-in artinya gerah. Begitu kira2.

Mungkin inilah yang dinamakan seninya mudik. Pakem “kalo gak macet, ya gak mudik” rupanya masih berlaku di tiap tahunnya. Alhamdulillah, sebelum ashar akhirnya kami berhasil “melepaskan diri” dari ruwetnya benang kusut kemacetan yang belakangan diketahui penyebabnya adalah bertemunya arus kendaraan dari tiga lokasi, yaitu Sukabumi, Cibadak, dan arah dari Pelabuhan Ratu.

Setelah melewati “kemelut” di Cibadak, jalanan relatif lancar. Masuk ke Parung Kuda menuju Cicurug juga lancar. Menjelang ashar, kami sudah memasuki kabupaten Bogor. Hingga sampai di terminal Bekasi jalanan cukup ramlan (ramai lancar). Mega merah yang menghiasi lembayung senja mengantarkan kami menuju rumah dengan selamat sehat wal’afiat. Puji syukur Alhamdulillah.

Sudah tiga tahun berlalu sejak kunjungan terakhirku bersilaturahmi kesini, dan sudah cukup banyak perubahan yang terjadi disana-sini. Dulu di desa Ranca Oray, kecamatan Nyalindung, kabupaten Sukabumi ini hilir mudik kendaraan baik itu roda dua atau empat masih sedikit. Namun sekarang relatif lumayan banyak. Hal itu diakui sendiri oleh salah satu saudaraku disana.

Kunjunganku di tahun ini rupanya bersamaan dengan datangnya musim kemarau. Sawah2 banyak yang kering. Begitu halnya yang terjadi terhadap kebun sayur-mayurnya. Bahkan ada situ/danau yang hampir mengering airnya. Sedih sekali melihatnya, karena mata pencaharian sebagian besar penduduk disini adalah dalam bidang agraris. Ketika siang, udaranya juga lebih panas dibanding sekitaran tiga tahun lalu. Entahlah hal tersebut ada hubungannya dengan global warming effect atau tidak.

Tapi ada yang nggak hilang dari ciri khas daerah pegunungan, yaitu air yang super dingin. Waaaaa. Airnya yang berasal langsung dari puncak gunung serasa menusuk hingga ke tulang saking dinginnya. Bila malam datang, tak ada suara apapun yang terdengar selain nyanyian duet kodok dan jangkrik. Suasana yang sejuk memungkinkan kita untuk menghirup nafas sedalam2nya tanpa takut oksigen akan bercampur dengan timbal dan polusi kendaraan.

Liburan singkat selama tiga hari dua malam ini lumayan efektif meredakan kejenuhan aktivitas di kantor, seperti yang terjadi di Ramadhan yang baru saja berlalu. Selain liburan, apa yang baru saja kulakukan ini juga untuk menyambung tali silaturahmi. Seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al -Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693).

Tapi lihat apa yang terjadi di balik ketidakbersediaan kita untuk mempererat tali silaturahim tanpa ada udzur (halangan) yang jelas. Hal itu bisa kita lihat dalam keterangan Rasulullah SAW yang berikut ini. Dari Jubair bin Muth’im RA. dari Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga pemutus silaturrahim.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Turmuzi). Nah lho serem kaan!!!

Salah satu pertanyaan yang sering muncul ketika menyambung tali silaturahim kemarin adalah, “Bu, anaknya sudah ada calon menantu belum?” :D. Jawabku dalam hati: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama”: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami pasangan dan anak kami sebagai penyejuk mata kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74)

20110904-23.18

‘Injury Time’ Ramadhan

Terlepas dari ikhtilaf (perbedaan) di dalam penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H ini, hal itu tak terlalu kupermasalahkan. Mau Lebarannya ikut yang 29 atau 30 hari, itu terserah lah. Kupikir, point pentingnya adalah nilai dari Ramadhan itu sendiri. Ibarat anak sekolah yang mau ambil raport, kan gak penting kapan raport itu mau diambil, yang penting kan nilai raportnya.

Secara keseluruhan, aku merasa kualitas ibadah di Ramadhan tahun ini nggak begitu maksimal. Hal ini berkaitan dengan aktivitas kantor yang entah kenapa intensitasnya di bulan ini gak berkurang. Justru di bulan ini tercipta rekor baru. Hampir selama 3 minggu berturut-turut aku gak ngerasain libur walaupun itu weekend.

Terhitung sejak Senin 8 Ramadhan hingga Jumat 26 Ramadhan, diri ini terus tancap gas. Sepertinya body language “kecapean” yang kuisyaratkan tak mampu terdeteksi dengan baik di mata pimpinan. Mungkin sinyalnya kurang tokcer. Beragam kegiatan baik itu yang di dalam kota maupun daerah terus mengisi hari2 di bulan suci ini. Padahal niat awal di bulan ini sama sekali nggak seperti itu. Mudah2an semua itu bernilai ibadah di hadapan Allah. Amiiin.

Well, kini Ramadhan telah berlalu. Pergi meninggalkan kita semua diiringi gema takbir yang bertalu-talu. Takbir yang memuji ke-Maha Besaran Allah SWT. Sejatinya, Ramadhan hadir ke tengah2 kita membawa “misi” sebagai bulan pendidik. Mendidik bagaimana kita mengendalikan hawa nafsu, mendidik kita menjadi orang yang lebih sabar, tawadhu (rendah hati) dan tidak sombong, dan intinya mendidik kita menjadi hamba yang bertakwa.

Seperti yang sudah disinggung di atas tadi, perbedaan di dalam menentukan akhir Ramadhan dan awal Syawal adalah suatu hal yang bukan sekali-dua kali terjadi. Aku yang kehilangan banyak kesempatan di bulan ini berharap hadirnya sedikit “keajaiban” di penghujung Ramadhan ini. Walaupun di beberapa tempat di Indonesia telah nampak hilal, namun di dalam hati kecil ini masih berharap agar aku diberikan kesempatan sehari lagi merasakan damainya bulan ini.

Di hari ke-29 itu, aku meminta dengan penuh harap agar Allah meng-ijabah permohonanku untuk “menangguhkan” gema takbir Hari Raya. Aku berharap keajaiban terjadi untuk sebuah kesempatan menambah amal baik yang bernilai emas di bulan ini. Melalui sidang itsbat yang digelar di Kementerian Agama, Allah memperkenankan permintanku ini. Bulan Ramadhan di Indonesia jatuh genap 30 hari. Entah itu terjadi karena request dariku atau bukan, yang pasti aku merasa sangat beruntung karena di Indonesia ini bulan Ramadhan 1432 H “diperpanjang” sehari.

Beruntung? Ya iyalah. Siapa yang dapat memastikan kalau kita akan menghirup nafas dalam2 di Ramadhan 1433 H tahun depan? Nggak ada bukan? Hal itu hanya dapat terjadi berkat kemurahan Allah SWT. Mungkin bagi kebanyakan orang yang saat ini masih merasakan diberikan nikmat sehat, mereka lupa akan hal itu. Aku masih ingat dengan sangat jelas kejadian di Ramadhan tahun lalu. Ramadhan yang sangat mengharukan untukku. Bila aku mengingat kejadian di kala itu, tak terasa kedua mata ini tak kuasa menahan air mata.

20110831-21.45